Cerpen Kesedihan | Bunga di Sekitar Bingkai Foto

Bunga di Sekitar Bingkai Foto

Alarm terdengar begitu keras. Tubuhku sampai terhentak. Kuraba dan kucari-cari jam weker yang terletak di atas meja kecil di samping tempat tidur, namun tanpa sengaja tanganku menyentuh sesuatu dan terjatuh. Ketika kulihat ke bawah, jam telah bersandar tepat di atas bantal duduk. Dengan senyum kemenangan, aku pun membenamkan tubuh kembali ke balik selimut. Musim salju memang membuat udara terasa dingin, dan aku pun jadi malas untuk beraktivitas. Tak heran, jika aku lebih suka menghabiskan waktu di atas ranjang.

Kudengar pintu kamar diketuk dari luar. Suara lembut itu pun berbaur dengan ketukan. “Hanna, bangun sayang. Sudah waktunya kamu bersiap-siap. Nanti kamu terlambat lagi kuliah,” ucap ibu dari luar. Kubuka sedikit selimut dan kupicingkan mata melihat jendela. Masih tertutup rapat dengan tirai. Matahari rupanya telah sedikit menerangi kamar lewat celah-celah jendela.

Dengan berat, kulangkahkan kaki menuju kamar mandi. Becermin sebentar, mengamati dua buah jerawat yang bertengger di antara pipi kanan dan hidung. Merah merona. Mungkin karena tadi sempat tertekan oleh selimut.

Kubuka keran. Kuatur air hangat yang kuinginkan dan kubiarkan bathub itu penuh. Sambil menanti, kunyalakan stereo yang terduduk di lemari handuk. Kumainkan cd kesukaanku, lagu Umbrella, milik Rihanna. Sebentar kemudian, kubenamkan tubuh ke dalam bathub. Lama, sekitar setengah jam kuhabiskan waktu berendam. Jikalau ketukan itu tak terdengar lagi, mungkin aku masih asyik menenggelamkan diri di dalam air hangat.

Aku pun segera menarik handuk yang terletak di samping bathub. Berpakaian dan keluar menuju meja makan. Di sana, sudah menanti ayah, ibu dan adikku, Mika. Wajah mereka tampak bahagia ketika melihatku datang.

Setelah aku duduk di meja makan, Mika, memandangiku dengan senyum lebar dan mata menyipit. “Ada apa denganmu, Mika? Mengapa memandangiku seperti itu?” tanyaku heran.

“Biar ibu yang jelaskan. Sebentar lagi kakak pasti sangat senang,” ucap Mika dengan wajah bahagia.

Segera kuarahkan pandangan ke ibu. Ibu hanya tersenyum. Aku jadi semakin penasaran. Tiba-tiba, ayah menggenggam tanganku, dan bertanya, “Besok kamu sudah mulai libur panjang kan, Hanna?”

Aku hanya mengangguk sebagai jawaban. “Tempat apa yang paling kamu tunggu-tunggu untuk dikunjungi?” tanya ayah lagi, sambil tersenyum.

Mendengar pertanyaan ayah, hatiku tiba-tiba merasa bahagia. “Yellowstone!” teriakku.

Seisi ruang pun pecah dengan tawa kami semua. Akhirnya, penantian itu berakhir sudah. Kami akan ke Yellowstone. Di sana ada tempat peristirahatan hangat di musim salju. Bukan tempat itu yang membuat istimewa, namun pertemuan dengan Louis, teman masa kecilku dulu yang membuatku bahagia. Bagaimanapun, aku menyadari bahwa aku telah jatuh hati pada pemilik nama itu.

Ketika di kampus, hatiku risau. Rasanya, aku sudah tak tahan untuk segera sampai di Yellowstone. Setiap detik, selalu kupandangi jam. Berharap alarm waktu pulang segera berbunyi.

Sesampainya di rumah, ayah, ibu dan Mika telah menyiapkan segala perlengkapan yang harus dibawa. Kami pun berangkat. Sepanjang perjalanan, aku habiskan dengan banyak mengingat-ingat perjumpaanku setiap tahun dengannya, terutama pertanyaannya tahun lalu. Ketika itu ia menyatakan perasaannya. Namun aku belum mampu menjawab, walau pada kenyataannya, aku pun punya rasa yang sama. Ah, debar jantung ini membuatku tak tahan untuk segera sampai padanya. Wajahku terlihat bahagia, membuatnya merona, bahkan terkadang tersenyum-senyum sendiri membuat Mika, menggodaku dengan mengatakan bahwa aku sudah mulai bermasalah.

Lima jam perjalanan kami lalui, dan akhirnya tiba di depan halaman rumah nenek. Nenek pun berhambur keluar ketika mengetahui kedatangan kami. Kami saling berpelukan. Sebentar, kuarahkan pandangan ke rumah Louis yang terletak tepat di depan rumah nenek. Nenek memeluk dan mengajakku masuk. Udara dingin menjadi alasan yang menguatkan pijakan langkahku untuk masuk. Walau sebenarnya, ada keinginan untuk segera berlari ke rumah Louis dan mengetuk pintunya. Tentu senyum Louis saat membuka pintu, akan menjadi obat tersendiri bagiku melepas kangen.

Di ruang tengah, api dari tungku sudah menyala. Terasa hangat dan membuat ruang tampak berwarna keemasan. Ruang tengah nenek cukup luas. Dan dibangun hampir semua menggunakan kayu. Maka ketika penghangat menyala, ruang itu terasa begitu nyaman.

Kami menyeduh teh yang telah disiapkan. Berbagai jenis bolu dan biskuit menjadi teman minum. Nenek tampak sangat bahagia. Mika ada di pangkuannya. Dengan lembut, tangan yang telah termakan usia itu mengelus-elus rambutnya. Namun pandangan nenek terkadang beralih padaku. Wajah itu menurutku seringkali memberikan senyum, namun matanya menyiratkan sesuatu yang entah apa. Hatiku hampir dibuat kelu.

Aku segera memohon diri untuk berlalu ke kamar. Tempat peristirahatan yang mengarahkan pandangan langsung ke jendela Louis. Kamar itu terlihat sunyi, bahkan terasa suram. Entah di mana dia, mungkin sedang terlelap di bawah selimut.

Kunyalakan stereo yang berada di sudut kamar. Lagu Enya-Enya, mengalun sendu. Semakin terasa senyap melingkar di ruang kamar. Tak biasa, seperti tahun-tahun sebelumnya. Biasanya jika lagu itu kumainkan, kamar ini memberi sentuhan rindu yang dalam. Lalu tanpa sengaja mata kami saling berpandangan dari balik jendela. Terjadi begitu saja. Kupikir dulu itu telepati antara kami berdua begitu kuat. Namun kini, segala terasa hampa.

Perlahan, terdengar ketukan lembut dari balik pintu. Nenek masuki kamar. Sebentar kulihat nenek juruskan pandangan keluar jendela, lalu menghampiriku yang terbaring di atas ranjang. “Istirahatlah dahulu, nanti malam nenek bangunkan untuk makan malam. Perjalanan tadi pasti amat sangat melelahkanmu..,” ucap nenek, sambil mengecup keningku dengan lembut dan berlalu. Percakapan itu begitu singkat. Biasanya nenek menghabiskan waktu berlama-lama denganku.

Hatiku terasa risau. Pikiranku pun tak menentu. Ada rasa yang menarikku untuk menemui Louis. Rasanya, pertanyaan yang ia utarakan tahun lalu, ingin segera kuberitahukan jawabannya. Ingin kubisikkan padanya, “Aku pun mencintaimu.” Pipi ini pun tiba-tiba terasa hangat. Dan aku pun tersenyum bahagia. Ah, aku sudah tak tahan. Setahun buatku terasa lama. Kuniatkan untuk menghampirinya. Kubuka jendela kamar, dan keluar dari sana. Di bahu kanan rumah nenek ada tangga. Biasanya aku suka sembunyi-sembunyi pergi dari sana, ketika harus pergi tanpa ijin.

Selang lima menit kemudian, kuketuk pintu rumahnya. Jantungku berdebar-debar. Semula aku ragu untuk mengetuk pintu. Namun akhirnya terjadi juga. Kemudian, lampu ruang tamu menyala. Pintu dibuka. Seorang perempuan paruh baya keluar dan tampak kaget melihat kedatanganku. Ia tersenyum dan memelukku. Erat, begitu erat sehingga sulit bagiku untuk melepasnya. Suara Paman Tom, ayah Louis terdengar mendekat. “Hanna, lama tak menemuimu. Apakabar..?” tanyanya sambil tersenyum. Aku segera menjawabnya dengan ramah.

Perempuan paruh baya tadi melepaskan pelukannya. Ia adalah ibunya Louis. Kemudian ia merangkulku menuju ruang tengah. Ruang ini tampak luas, dengan dinding berwarna cat putih dan ubin kayu. Tungku menyala di sudut tengah ruang. Dulu, sering kuhabiskan waktu untuk bercanda bersama Louis di atas karpet merah itu, di depan tungku api.

Sambil membalikkan tubuh, aku segera menanyakan keadaan Louis. Tante Lisa dan Paman Tom, tampak terhenyak kaget. Kemudian tersenyum dan mengajakku duduk di depan perapian. Tante Lisa berlalu ke dapur untuk mengambil minum dan cemilan kesukaanku. Namun dari ruang tengah, kudengar suara isakan tangis dari dapur. Paman Tom, memandangiku dengan wajah khawatir lalu memohon diri. Aku bingung. Buatku, seperti ada sesuatu yang disembunyikan. Aku pun segera berlari menuju ke tangga atas, tempat kamar Louis. Kubuka langsung pintu itu, dan tak kudapati Louis di sana. Yang kulihat kamar itu tampak rapi seperti biasa. Hangat dan begitu kurindukan.

Tak berapa lama kemudian, Paman Tom menyusulku, begitupun Tante Lisa. Mereka berdua memelukku erat. Aku tak mengerti mengapa, aku merasa dadaku sesak. Ada air mata yang hendak keluar, namun tertahan. Bibirku pun sulit untuk menyebut nama Louis. Aku hanya mendapati, satu bingkai tepat di depanku dengan wajah Louis yang tersenyum terangkai bunga. Ya, bunga melati kesukaan kami berdua. Bunga yang selalu kami angan-angankan untuk ditaburkan di makam kami jika kelak kami kembali padaNya.