Menuju Kesempurnaan Ibadah ~ “Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan,” (QS al-Fatihah: 5)
Seorang hamba yang kecil, lemah dan hina kini tengah beraudiensi di hadapan Rabbnya. Tanpa perantara, tanpa satu pun garis batas. Ia berdiri menghadap ke arah kiblat dengan badan tegak. Matanya hanya menatap tempat sujud. Pikirannya terkonsentrasi pada keagungan Allah yang tengah ia hadapi. Jiwanya merasakan kehadiran Pencipta alam semesta. Raja Yang Maha Berkuasa tengah memperhatikan tiap gerak hati dan pikirannya.
Hati dan kedua lisannya melantunkan kata-kata sanjungan dan pujian kepada Rabb-Nya. Sang hamba membesarkan Asma Allah dengan bertakbir, mengakui dosa dan kelemahannya melalui bacaan iftitah shalatnya. Selanjutnya, ia menyanjung, mengagungkan dan memuliakan Allah dengan membaca ayat-ayat-Nya yang tertuang dalam surah Al-Fatihah.
“Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji milik Allah Rabb seru sekalian alam, Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Raja di hari pembalasan....” (QS al-Fatihah: 1-3).
Itulah keadaan setiap hamba Muslim ketika membaca Surat al-Fatihah dalam shalatnya. Sebagian ulama salaf mengatakan bahwa al-Fatihah merupakan “rahasia al-Qur’an”. Dan “rahasia al-Fatihah” terdapat pada ayat
“Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’iin” (Hanya kepada Engkaulah kami beribadah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan).
Penggalan pertama, “Hanya kepada Engkaulah kami beribadah” adalah bentuk penyucian dari kemusyrikan. Sedang penggalan kedua, “Hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan” merupakan penyucian dari upaya, usaha dan kekuatan, selanjutnya menyerahkan segalanya kepada Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Agung.
Dalam Tafsir Ibnu Katsir, Ibnu Abbas ra menjelaskan ayat ini. Katanya, “Hanya kepada Engkaulah kami beribadah”, berarti hanya kepada Engkaulah kami mengesakan, takut dan berharap, bukan kepada selain Engkau. Dan “Hanya kepada Engkau kami memohon pertolongan untuk menaati-Mu dan menyelesaikan seluruh persoalan kami.”
“Iyyaka na’budu” didahulukan daripada “Iyyaka nasta’iin” karena ibadah merupakan tujuan. Sedang memohon pertolongan merupakan sarana untuk mencapai ibadah. Ibadah adalah dasar keyakinan yang merupakan ushuluddin yaitu “Tauhidullah”. Sedang “istiianah” (memohon pertolongan) merupakan realisasi dari ibadah yang menyangkut masalah cabang dalam syariat yang tentu saja tak kurang pentingnya sehingga memerlukan pengkhususan.
“Iyyaka” merupakan obyek yang didahulukan supaya tujuan pembicara terfokus pada apa yang hendak dilakukan. “Hanya kepada-Mu kami beribadah” dalam arti kami tidak beribadah kecuali hanya kepada-Mu. Kami pun tidak berserah diri kecuali kepada-Mu. Ini merupakan kesempurnaan ketaatan yang didasari cinta, takut sekaligus harapan.
Susunan penyebutan “Iyyaka” yang diulang dua kali mengandung pelajaran untuk mendahulukan melaksanakan kewajiban daripada menuntut hak, yang keduanya terealisasikan dalam hubungan interaksi dengan Allah.
Secara bahasa, ibadah berarti “ketundukan dan kerendahan”. Seorang hamba adalah sosok yang senantiasa menghambakan diri dan menghinakan diri dengan ketundukan, rasa takut, harapan dan kecintaan yang sempurna kepada Allah Ta’ala. Penghambaan kepada Allah adalah hak mutlak Allah sekaligus kewajiban bagi setiap hamba ciptaan-Nya (QS al-Bayyinah: 5).
Ibadah yang suci dan diterima Allah adalah yang bersih dari noda syirik, jauh dari mempersekutukan sesuatu dengan Allah. Tidak boleh mempersekutukan pengabdian kepada Allah dengan yang lainnya. Ini berlaku pada seluruh pengertian ibadah atau penghambaan meskipun lewat ungkapan lisan.
Allah telah mengutus para Rasul dan Nabi untuk menjelaskan batas-batas aturan penghambaan agar hamba-hamba-Nya tidak sesat. “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): ’Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thagut itu’, maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul),” (QS al-An’aam:36).
Penjelasan para Rasul tentang Tauhidullah, tak diragukan lagi, merupakan bimbingan yang gamblang dan jelas agar hidup manusia hanya mengarah kepada Allah, bukan kepada selain-Nya. Manusia dilarang menyembah thagut. Pengertian “thagut” adalah “segala sesuatu yang disembah selain Allah”. Karena itu, kewajiban setiap orang yang bertauhid untuk mengingkari thagut. “Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Taghut dan beriman kepada Allah, maka sesunguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui,” (QS. al-Baqarah: 256).
Perintah suci ini disambut oleh kaum Mukminin dengan penuh kesadaran. Menghamba kepada-Nya, menegakkan tauhidullah dalam dirinya dan menjalankan agama dalam seluruh gerak hidupnya.
Menjalankan agama berarti menundukkan diri hanya kepada-Nya secara total tanpa reserve, tanpa penolakan, dengan penuh keyakinan—tanpa sedikit pun keraguan. Tentu saja tidak terbatas dalam shalat lima waktu, berpuasa, membayar zakat atau ibadat-ibadat khusus yang tata caranya dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. Tetapi juga meliputi seluruh aspek hidupnya. Semua itu mengikuti aturan hidup, manhaj asasi Kitabullah dan Sunnah Rasulullah. Karena itu ungkapan “Iyyaka na’budu” mengandung makna pernyataan al-Qur’an, “Katakanlah: ‘Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam’,” (QS. al-An’am: 162).
Mukmin memohon sesuatu yang dia sendiri berusaha melakukannya dalam rangka menaati Allah. Dia memohon pertolongan, bukan meminta Allah menurunkan hujan emas. Dia sadar bahwa memohon tanpa berusaha adalah kesia-siaan yang bisa mengundang datangnya kemurkaan, “Hai orang-orang yang beriman jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar,” (QS al-Baqarah: 153).