Cerita Sedih | Inspiratif Hidup
Malam itu hujan begitu lebat. Dingin selimuti langit-langit malam. Entah sudah berapa kali daun jendela itu terbuka oleh desakkan angin di luar sana, namun Mbok Yatmi tetap tak lelah menghampiri dan menutupnya kembali.
Sementara tak jauh dari jendela, Anggar terbaring tak berdaya. Kedua kakinya lumpuh pun tangan tak mampu ia gerakkan karena terpotong oleh mesin jaman. Terkadang tetes air hujan basahi wajahnya lewat semburan angin dari jendela yang terbuka. Dan Mbok Yatmi, menyekanya dengan penuh kasih sayang.
Ada miris terlihat jelas dari wajah Mbok Yatmi, saat melihat keadaan yang kini menimpa Anggar. Namun apa boleh buat, kondisi rumah yang sangat kecil, tidak memungkinkan Anggar berbaring di ruang lainnya. Rumah itu hanyalah gubuk biasa yang terdiri dari satu ruang, di mana kesemua kegiatan dilakukan di satu tempat. Ukurannya tak seberapa besar, hanya lima kali tiga meter.
Terkadang, tetes demi tetes hujan jatuh basahi lantai yang masih tanah karena genteng-genteng sudah mulai bersela oleh gesekkan angin atau rapuh karena usia. Namun demikian, Mbok Yatmi dan Anggar, putranya tetap mensyukuri rahmat yang masih bersama mereka.
Mbok Yatmi segera kembali ke dipan, tempat mereka tidur bersama. Yah, satu tempat tidur tanpa kasur empuk di atasnya. Namun cukup bagi mereka melepas rasa lelah setelah seharian mengisi hidup dengan usaha dan bekerja.
Mereka tinggal agak jauh dari perkampungan warga. Tepatnya di bawah bukit nan rindang, dimana ladang beberapa warga desa bertemu dan berjajar. Suami Mbok Yatmi, Pak Ahmad, ketika masih hidup bekerja sebagai buruh tani. Setiap hari mengolah beberapa ladang warga desa sekaligus menjadi pengawas dari binatang perusak. Dan karena usahanya itulah, salah seorang warga desa memberinya sepetak tanah untuk tempat tinggal yang kini didiami oleh Mbok Yatmi dan putranya, Anggar.
Setelah kepergian Pak Ahmad, Mbok Yatmi yang bekerja menggantikan suaminya. Sesekali, membantu mencucikan pakaian dengan upah harian sebagai tambahan biaya hidup sehari-hari. Sementara Anggar, setelah kecelakaan yang melumpuhkan raganya, hanya tertidur di pembaringan. Terkadang, satu dua kali membantu memperhatikan pekerjaan ibunya di ladang atau menarik tali pengait dengan giginya, untuk menakuti burung atau binatang pengganggu lainnya.
Hujan masih saja turun di luar sana. Petir terkadang datang menggelegar, menggetirkan rasa. Sesekali terdengar ucapan Allahu Akbar dari bibir Mbok Yatmi dan Anggar. Suara dipan terdengar seperti kayu tua yang sudah reot ingin diganti. Terkadang bergoyang mengikuti irama tubuh di atasnya.
Anggar menggeser selimutnya, berharap tubuh ibunya terselimuti agar dingin tak menggerogoti raganya yang telah menua. Namun Mbok Yatmi tak bersedia. Ia tetap memaksa putranya untuk mengenakan selimut itu, karena demam sejak siang tadi telah menderanya.
Tak lama kemudian, Mbok Yatmi bangun dari rebahannya, lalu mengusap kening Anggar. Masih panas bahkan lebih panas dari siang tadi. Perasaan cemas menghantuinya. Kemudian segera mengambil air termos dan mengompresnya. Namun sayang, air panas telah habis. Mungkin karena seharian tadi telah digunakan untuk mengompres. Segera Mbok Yatmi keluar untuk mengambil air.
“Bune, mau kemana? Di luar sedang hujan….”, tanya Anggar lemah.
“Sebentar le, bune ambil air dulu. Hanya di depan sini…”, jawab Mbok Yatmi sambil membuka pintu yang masih terbuat dari gedek bambu.
Tak berapa lama, angin tiba-tiba menerjang masuk diikuti jipratan air. Seisi ruangan jadi dingin. Mbok Yatmi segera menutupnya. Sementara Anggar di dalam tampak gelisah. Ia khawatir dengan ibunya yang berada di luar sendirian, dimana hujan dan angin bersatu menghantui rasa.
Tak berapa lama kemudian, Mbok Yatmi telah memasuki ruangan. Rambut dan kebaya tuanya sedikit basah oleh air hujan. Segera Mbok Yatmi menyalahkan tungku. Mengumpulkan kayu bakar yang lembab oleh hujan. Sudah beberapa kali api mati oleh terpaan angin yang masuk lewat sela-sela dinding gubuk. Namun tak menutup harapan untuk Mbok Yatmi mencobanya kembali. Api pun akhirnya menyala. Satu ceret tua yang telah menghitam bertengger di atasnya. Sambil menunggu mendidih, Mbok Yatmi menggelar sajadahnya. Di sepertiga malam selalu menjadi cita-cita dan harapan yang tak pernah ia lewatkan.
Anggar terdiam. Matanya memandang langit-langit rumah yang cahayanya remang-remang oleh lampu teplok yang bertengger di pojok kamar. Terkadang nyalanya terang, terkadang kecil sesuai dengan terpaan angin. Tak lama, ia pejamkan kedua matanya, sambil sesekali bibirnya bergerak, mengalunkan dzikir-dzikir malam.
Sejam kemudian, suara air mendidih berbaur dengan suara hujan di luar sana. Saatnya diangkat untuk segera dimasukkan ke dalam termos. Mbok Yatmi yang sejak tadi berdzikir, segera meletakkan tasbih dan melepaskan mukenanya. Api segera dimatikan. Air dari ceretpun berpindah ke dalam termos. Sedikit disisakan dan dimasukkan kedalam mangkok. Lalu setelah meletakkan ceret, Mbok Yatmi menuangkan air dingin kedalam mangkok itu agar tidak terlalu panas. Lalu segera menyeka kening Anggar. Pelan-pelan, sambil terus berdoa agar putranya segera diberikan kesembuhan.
Lama-lama, doa itu berubah menjadi senandung yang menyejukkan. Ternyata, Mbok Yatmi mendendangkan doa dalam bentuk lagu jawa. indah terdengar di telinga. Harapannya hanya satu, agar putranya segera tertidur agar demamnya bisa reda esok hari.
Tiba-tiba, teguran Anggar mengagetkan Mbok Yatmi.
“Sudah adzan shubuh belum, bune..?”.
“Belum le. Kok kamu masih terjaga. Bune pikir sejak tadi kamu sudah tertidur. Ayo, pejamkan matamu. Segeralah istirahatkan ragamu. Mudah-mudahan besok demamnya sudah hilang”, jawab Mbok Yatmi lembut.
“Saya sudah cukup tertidur sejak tadi kok, bune. Bune yang belum istirahat. Sudahlah bune, sekarang bune yang harus istirahat. Nanti kalau adzan shubuh, biar saya bangunkan..”, ucap Anggar penuh kasih sayang.
Anggar sangat prihatin melihat kondisi ibunya. Selama ini, ia merasa tak bisa membantunya lebih. Apalagi hari ini, sejak siang tadi ia sudah cukup merepotkannya dengan sakitnya itu. Ibunya jadi kurang istirahat, padahal sejak pagi hingga siang telah mengisi harinya dengan bekerja. Oleh karena itu, Anggar hanya berpura-pura terlelap agar ibunya tidak terlalu mengkhawatirkannya.
“Tidurlah bune, istirahatlah barang sebentar saja…”, pintanya kembali.
Sebentar kemudian terdengar suara batuk dari bibir ibunya. Tampaknya, hari ini ibunya amat sangat lelah. Anggar jadi semakin iba.
“Ayolah bune, istirahatlah. Jika bune sakit, nanti Anggar yang sedih karena tidak bisa membantu apa-apa…”, bujuk Anggar lembut. Tak terasa air mata basahi pipinya. Keharuan mencekam ruang itu. segalanya jadi terasa lebih dingin dari udara di luar sana.
“Baiklah, sebentar bune letakkan dulu mangkok ini di meja”, jawab Mbok Yatmi.
Setelah itu, Mbok Yatmi membaringkan tubuhnya di atas dipan. Anggar hanya bisa memandangi ibunya dari samping, tanpa bisa berbuat apapun. Lalu berlahan-lahan, matanya pun ikut terpejam. Hujan, dingin dan rasa lelah malam itu membuat raga akhirnya terbawa untuk tak terjaga.
Di luar yang terdengar hanya air jatuh dari langit basahi tanah atau denting-denting suara genting basah oleh tetesan hujan. Terkadang suara tiupan angin yang menyapa dahan-dahan pohon sekitar. Lama hingga mata benar-benar terpejam.
Beberapa jam kemudian, suara adzan shubuh tergiang di telinga. Indah menggema hingga keseluruh pelosok desa. Satu demi satu penduduk desa melangkahkan kakinya menuju surau. Hingga tak terasa, tempat wudhupun penuh oleh antrian warga sekitar.
Lamat-lamat terdengar satu dua orang saling menyapa, entah salam atau canda membangunkan rasa kantuk yang masih menghinggap. Canda bocah kecilpun terdengar, entah dari tempat perwudhuan, teras surau atau di dalam surau itu sendiri. Semua hilir mudik sibuk pada kepentingan masing-masing sebelum sholat berjamaah dilakukan. Ada yang mengisinya dengan bertadarus atau pun memilih duduk menyendiri sambil terus berdzikir mengagungkan asmaNya.
Dari balik teras, seorang ibu bertanya pada ibu yang lainnya.
“Kok Mbok Yatmi tidak kelihatan, ya bu…? Tumben, biasanya jam segini sudah di dalam surau sambil berdzikir”.
“Benar, biasanya sudah duduk di pojok sana…”, jawab ibu yang lainnya sambil mengarahkan matanya ke sudut pojok kanan surau.
“Mungkin Anggar, masih sakit. Saya dengar, demamnya tinggi sekali…”, jawab ibu yang lainnya lagi.
“Ya, kita doakan saja segera diberikan kesembuhan…”, ucap ibu yang pertama tadi.
Tak lama kemudian, terdengar teriakan seseorang dari kejauhan.
“Longsor… longsor… rumah Mbok Yatmi kena longsor….!!!” teriak orang itu terengah-engah sambil terus suaranya mendekat ke arah surau. Ketiga ibu-ibu di surau itu pun saling berpandangan dengan wajah pucat dan bibir terkatup.