Cerita Sedih | Arti Sebuah Kehidupan

Cerita Sedih | Arti Sebuah Kehidupan

Rasanya ingin aku menghilang dari tempat ini. ingin aku menutup wajahku dan berlari menjauh. namun istriku terlihat begitu santai dengan ini semua. istriku sama sekali tidak mempedulikan tatapan mata mereka semua. Walaupun mereka semua adalah sahabat SMA kami dulu, namun tatapan mereka padaku telah berubah.

Wajar saja, ini adalah reuni SMA kami setelah dua puluh tahun. Sahabatku semua sudah berubah. Aku dan istriku adalah teman satu angkatan dulu. Jadi kami berdua menghadiri reunian ini dan berharap bisa bernostalgia dengan masa-masa SMA dulu. Namun semua berbeda dari apa yang aku harapkan.

“Re, apa kabarmu?, dimana kau bekerja?” kata Ginda seraya menepuk bahuku.

“em, aku melanjutkan sawah ayahku” kataku.

“hahaha. Hebat. Kalau begitu kau harus konsultasi dengan Tomi. Dia itu sarjana pertanian.” Kata ginda terlihat bersemangat menunjuk tomi.

“…….” Aku diam.

“dengar-dengar dia ingin mengambil gelar doktor di jurusan itu. Yaah, mungkin tidak ingin kalah dariku. hahaha” kata ginda melanjutkan. Aku semakin membisu.

Mengapa mereka semua membicarakan hal-hal seperti ini?. Aku pikir reuni ini untuk mengenang kembali masa-masa dulu. Aku pikir reuni ini untuk melepaskan rasa rindu pada kenangan masa dulu. Mengapa mereka membicarakan sesuatu yang sama sekali tidak aku mengerti?. Mengapa aku merasa terasing disini?.

Ruangan ini terlalu dipenuhi oleh kemewahan. Masing-masing sahabatku telah menjadi orang yang sukses. Sementara aku dan istriku hanyalah dua orang dari keluarga yang sederhana. Kami berdua menikah setelah lulus SMA dan tidak melanjutkan pendidikan seperti sahabat-sahabatku yang lain.

Aku memperhatikan wajah istriku dari kejauhan. Wajahnya ceria, sama seperti dua puluh tahun yang lalu. Mengapa aku tidak bisa seperti dia?, ceria dan percaya diri menghadapi teman-temanku. Apakah karena aku memperhatikan baju istriku yang mulai terlihat kusam. Itu adalah satu-satunya baju yang bagus miliknya. Itu aku belikan dua tahun yang lalu saat lebaran tiba.

Semakin minder aku melihat teman-teman wanitanya yang kini terlihat modis dan anggun dengan perhiasan yang melingkar di jemari dan tangan mereka. Sementara istriku hanya memiliki satu cincin emas yang aku belikan saat pernikahan dua puluh tahun yang lalu. Melihatnya jilbabnya yang kusam, ingin rasanya aku menangis.

Aku berjalan mendekatinya dengan gemetar. Aku akan mengajaknya pergi dari ruangan yang membuat aku sesak ini. Aku merasa telah gagal menjadi suami yang bisa memberikan kebahagiaan padanya. Aku harus mengajaknya pergi sebelum dia menyadari, hanya kami berdua yang terlihat kumuh disini.

“April, lihatlah ini. Pacarku membelikan tas ini saat dia pulang dari Perancis. Kau tahu?. Harganya ini sama dengan seratus tas biasa disini.” Kata Ellen berbicara pada istriku. “ohh, kau Rengga kan?, kau suami April kan?” tanya Ellen.

“iya” jawabku singkat. Aku kemudian menatap April dan menggangukkan kepala mengajaknya pergi. Tapi April, Istriku hanya tersenyum. Dia lalu melanjutkan perbincangannya dengan Ellen.

“iya len, tasmu bagus” kata istriku sambil tersenyum.

“Gimana, kamu ingin membeli tas yang seperti ini?” tanya Ellen menggebu.

“hehe, Nggak usah. Tasku ini sudah cukup mewah” kata istriku.

“mewah?, itukan hanya tas yang harganya biasa?” tanya Ellen meremehkan.

“mungkin tak berharga, tapi nilainya untukku sangat berarti” kata istriku.

“Nilai?” tanya Ellen bingung.

“Benar. Ini adalah hadiah pernikahan yang diberikan suamiku. Dan nilainya tidak bisa di beli oleh uang berapapun.” Kata Istriku seraya memeluk lenganku. April diam seribu bahasa, lalu berlalu pergi dengan senyuman sinis.

Dadaku bergetar hebat. Aku merasakan bahagia dan haru dalam waktu yang sama. membuatku merasa lebih kuat dan lebih berani jauh dari sebelumnya. Aku merasa sangat bangga dan percaya diri kembali. Kemudian Kami mengikuti acara reunian ini sampai akhir.

***

Saat kami berpisah dengan sahabatku, aku bisa tersenyum seperti dulu. Meski mereka pulang dengan kendaraan mewah, aku tak peduli. Lalu di dalam angkot menuju pulang kerumah, aku bertanya pada istriku.

“kamu serius waktu tadi bicara pada Ellen?” tanyaku.

“tentu saja sayangku. Didunia ini ada hal yang berharga yang mampu dibeli oleh mereka yang punya uang. Namun hal-hal yang bernilai tidak semua orang mampu memilikinya.” Kata dia sambil tersenyum.

Aku memegang tangannya. Dia bersandar dibahuku sambil menikmati pemandangan lewat kaca angkot yang buram. Saat ini aku benar-benar bahagia. Namun aku juga berjanji akan berusaha lebih keras lagi untuk membuat istriku ini bahagia. Aku berjanji akan mengisi kehidupanya dengan hal-hal yang jauh lebih bernilai dan berharga.

Aku lama memperhatikan wajahnya yang cantik. Ku eratkan genggaman tanganku. aku meneteskan bulir air mata bahagia. Lalu aku berkata dalam hati
“ya tuhan, terimakasih kau telah mengizinkan aku menjadi pendamping wanita yang sederhana ini. Sungguh, aku benar-benar mencintai wanita ini.”